MUTIARA WEDA: Tri Hita Karana, Bagaimana Memahaminya?

2 days ago 5
ARTICLE AD BOX
Jiwa individu (Jiva) di dunia ini adalah bagian dari-Ku yang kekal. Namun, karena terikat oleh indria dan pikiran yang berada dalam pengaruh Prakriti (alam material), mereka mengalami penderitaan.

BALI memiliki konsep Tri Hita Karana yang kesohor, tiga penyebab kebahagiaan. Dengan menempatkan manusia sebagai pusat, ketiganya adalah: hubungan harmoni antara manusia dan Tuhan; manusia dan sesamanya, serta manusia dan alam. Agar bahagia, keharmonisan adalah kunci. Jika kemudian hubungan ini tidak harmoni, apa jadinya? Ketidakbahagiaan. Bagaimana bentuk keharmonisan atau ketidakharmonisan tersebut sehingga manusia bisa bahagia atau sebaliknya?

Teks di atas jawabannya. Jiva individu (manusia) di dunia ini adalah bagian dari Tuhan yang kekal – ini hubungan harmoni antara manusia dan Tuhan, penyebab kebahagiaan. Jika kemudian manusia tidak menyadari bahwa dirinya tidak sebagai bagian dari Tuhan – inilah disharmoni, penyebab penderitaan. Secara bersamaan, ketika jiva individu (manusia) tidak menyadari kesemestaannya (sebagai bagian dari Tuhan), bahwa orang lain juga adalah dirinya – inilah disharmoni, tidak mampu hidup selaras dengan orang lain, penyebab penderitaan. Jika jiva individu (manusia) mampu menyadari kesemestaannya sebagai bagian dari Tuhan, maka dia mampu menyadari bahwa orang lain juga adalah dirinya – inilah harmoni di antara sesamanya, penyebab kebahagiaan. 

Demikian pula ketika melihat lingkungan alam, yang terdapat banyak kekayaan, sumber daya, dan objek lainnya, mengikat indrianya untuk terjebak di dunia material, menjadi serakah, eksploitatif, dan sejenisnya – ini bentuk ketidakharmonisan dengan alam, penyebab penderitaan. Namun, jika pikiran dan indrianya tidak terjebak oleh godaan sumber daya, sumber kekayaan alam, dia mampu menggunakan alam seperlunya – inilah harmoni dengan alam, penyebab kebahagiaan. Jadi, penyebab ketidakharmonisan dari hubungan ketiganya (manusia – Tuhan – alam) ada 2 menurut teks: Pertama, ketidakmampuan manusia melihat kesemestaannya sebagai bagian dari Tuhan, oleh karena avidya (kebodohan). Kedua, pikiran dan indria manusia terjebak dalam pengaruh prakrti (sifat alam) sehingga bersifat serakah, iri, dengki, dan merusak alam. 

Apa yang dilakukan agar hubungan ketiganya harmoni? Pertama, sadari kesemestaan diri; kedua indria jangan terjebak oleh sifat prakrti (alam) seperti kerakusan, kedengkian, dan sejenisnya. Hanya dengan kedua jalan ini kita bisa harmoni. Teks di atas adalah representasi dari bagaimana hubungan harmoni dari Tri Hita Karana itu dipraktikkan. Bahkan, bisa dikatakan bahwa teks seperti Upanisad, Bhagavad-gita, dan Brahmasutra sepenuhnya membahas ketiga hubungan ini: Ishvara (Tuhan) – jiva (manusia) – jagat (alam semesta). 

Dari ketiga (Tuhan – jiva – jagat) hubungan ini, muncullah berbagai pandangan yang berbeda di dalam tradisi Hindu. Sankaracharya melihat bahwa hanya Brahman yang nyata, dunia ini tidak nyata, jiva adalah brahman itu sendiri. Hanya Tuhan yang nyata, dan jiva yang ada pada diri manusia adalah Tuhan itu sendiri, sementara alam semesta ini (serta tubuh manusia) tidak nyata. Ramanujacharya memandang bahwa alam semesta ini nyata demikian juga jiwa, namun hanya atribut dari brahman (Tuhan). Jiwa dan alam semesta adalah Brahman itu sendiri, tetapi hanya sebagai atributnya, sementara intinya adalah Ishvara (Tuhan). Madhvacharya melihat bahwa Ishvara (Tuhan) – jiva (manusia), dan jagat (alam semesta) sepenuhnya berbeda. Keberadaan Jiva dan jagat sepenuhnya tergantung dari Tuhan.

Leluhur Bali kemudian mengonsepkan hubungan Ishvara – jiva – jagat ini ke dalam Tri Hita Karana. Ketiga hubungan harmoni ini diterjemahkan ke dalam parhyangan, pawongan, dan palemahan. Bisa dikatakan, inilah aspek praktis dari Tri Hita Karana di lapangan. Parhyangan adalah kawasan suci atau tempat suci di mana manusia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan, seperti hutan, danau, sungai, laut, gunung, dan pura. Pawongan adalah tempat interaksi antara sesama manusia. Di sinilah tempat hunian keluarga, tempat hunian para warga beserta dengan proses interaksinya. 

Palemahan adalah ruang kosong yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan manusia seperti pertanian dan kegiatan ekonomi lainnya. Tri Hita Karana ini menempatkan manusia sebagai sentral (antroposentrik). Dan, di sinilah kelemahannya. Konsepnya luar biasa, hanya dalam praktik, orang Bali menempatkan dirinya sebagai pusat. Akibatnya, ruang kosong menipis, hutan hilang, danau tercemar, tingkat stres masyarakat tinggi. Mungkin, perlu paradigm shift atas pemahaman Tri Hita Karana dari antroposentrik menuju ekosentrik. 7
Read Entire Article