Bedah Buku Puisi Renganis, Peraih Sastra Rancage 2025

4 days ago 2
ARTICLE AD BOX
Antologi puisi Renganis memuat 66 puisi. Ada puisi pendek satu bait terdiri dari 8 kata atau 12 kata dipecah ke dalam tiga bait, ada juga yang agak panjang sampai dua halaman. Budayawan Bali yang juga juri Hadiah Sastera Rancage, Prof I Nyoman Dharma Putra, menyebut keunggulan dari antologi ini terletak pada orisinalitas bentuk, isi, dan ekspresi (diksi).

Komunitas Wartawan dan Penulis Budaya (Kawiya) Bali, Komunitas Mahima, dan Suara Saking Bali, pun berinisiatif menggelar bedah buku setebal 90 halaman. Budayawan, sastrawan, wartawan, guru, pegiat literasi hingga penyuluh bahasa Bali hadir dalam diskusi yang digelar serangkaian peringatan Bulan Bahasa Bali ke-7 Tahun 2025, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, Jumat (21/2).

Sebagai pemantik diskusi adalah penulis, kritikus, sekaligus Dekan Fakultas Sastra dan Seni Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali Dr I Made Sujaya. Mantan wartawan ini mengapresiasi keberanian Sujana menulis puisi bahasa Bali di tengah distribusi buku sastra Bali yang mengalami banyak kesulitan saat ini.

Sujaya memuji puisi-puisi Renganis memiliki lirik yang sangat kuat. Hal ini karena penulisnya berasal dari wilayah Buleleng yang dikenal memiliki ciri khas tersendiri dalam bahasa Bali.

“Selamat, harapan saya Pak Komang terus menulis. Karena ada penulis yang berhenti menulis setelah mendapat penghargaan,” buka Sujaya.

Sujaya menuturkan, sebagai bagian dari sastra modern, puisi berbahasa Bali tidak terlepas dari perkembangan sastra Indonesia itu sendiri. Struktur puisi Bali mengambil struktur puisi berbahasa Indonesia, hanya saja menggunakan bahasa Bali. Dilihat dari konteks ini, perkembangan puisi Bali menurut Sujaya masih tertinggal dibanding sastra (puisi) Indonesia.

“Puisi Bali modern kita masih terjebak dalam tradisi,” sebut Sujaya.

Selain dalam teknik dan tema, kritik juga disampaikan Sujaya dalam narasi puisi atau sastra Bali yang pada umumnya yang masih terkesan menggurui. Padahal dalam sastra kontemporer saat ini, pembaca diberikan kesempatan seluas-luasnya memaknai sendiri kisah yang dibawakan penulis.

“Puisi Bali kita terlalu menggurui. Terjebak dalam satu ambisi untuk menghadirkan pitutur (pesan) di dalam puisi. Sementara di sastra Indonesia secara umum ruang abu-abunya lebih dimungkinkan untuk dieksplorasi. Misal dalam prosa, tidak ada karakter yang bulat, hitam atau putih,” ungkapnya. 

Sujaya menyebut, kesan hitam-putih, benar-salah, juga masih terasa dalam karya-karya Renganis. Menurutnya, semangat Renganis, sebagai salah satu kesenian non tradisi, justru bisa dipinjam dalam mengembangkan sastra Bali modern agar lebih sesuai dengan dinamika zaman. Renganis sebagai salah satu kesenian non tradisi lahir dari keberanian menciptakan sesuatu yang baru. Kesenian Renganis ini memadukan lantunan pupuh dangdang gendis dengan suara kodok.

“Puisi Bali juga berakar dari puisi Indonesia tapi puisi Indonesia sudah mengalami loncatan yang jauh," kata Sujaya.

Lebih jauh, Sujaya menjelaskan, sebuah buku termasuk buku puisi dibuat dengan harapan dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Namun kenyataan yang dihadapi sastra Bali modern saat ini cukup menyanyat hati. Tidak sedikit penulis buku sastra Bali modern harus menyumbangkan buku-bukunya ke sekolah-sekolah atau perpustakaan untuk mencoba mencari sedikit pembaca, alih-alih mendapat keuntungan finansial dari bayaran pembelian buku.

“Padahal di sekolah-sekolah saat ini keberadaan bacaan berbahasa Bali masih sangat kurang,” imbuhnya.

Penulis Made Adnyana ‘Ole’ dalam kesempatan itu juga menyoroti distribusi buku sastra Bali modern. Menurutnya, penulis sastra Bali modern selama ini hanya ‘ngayah’ dan sulit mencari pembaca.

"Menulis susah, mencari pembaca juga susah. Mereka lebih sering membagikan bukunya secara cuma-cuma dan kadang juga tidak dibaca," paparnya.

Dia pun meminta pemerintah membuat regulasi agar buku-buku sastra Bali modern wajib masuk satuan pendidikan. Karena selama ini pemenang tender selalu dari luar Bali sehingga buku terbitan di Bali apalagi buku SBM tak bisa masuk. Dengan begitu, iklim perbukuan di Bali akan lebih hidup karena buku tersebut bisa terdistribusi dengan baik.

"Seharusnya ada kebijakan, sebelum tender pengadaan buku, diberikan syarat, sekian persen harus ada buku terbitan di Bali dan juga buku berbahasa Bali," ujarnya.

Sementara itu, penulis buku Komang Sujana mengatakan tidak menyangka buku puisi keduanya meraih penghargaan bergengsi. Sebelum menulis Renganis, mantan penyuluh bahasa Bali telah menerbitkan buku pertama ‘Cangkit Den Bukit’.

Sebagai seorang guru, Sujana merasa tertantang untuk melahirkan karya-karya untuk menjadi inspirasi para murid-muridnya di sekolah. “Saya ingin memberikan contoh nyata pada siswa, bukan hanya sekadar berteori,” ucapnya.

Untuk itu, dia bertekad akan terus berproses agar mampu melahirkan karya-karya selanjutnya dan memberikan kontribusi dalam perkembangan sastra Bali modern di masa depan.7adi
Read Entire Article